KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA



A. Pengertian Kerukunan Umat Beragama
Dalam ajaran Hindu dikenal adanya butir-butir kerukunan sebagai berikut : Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha dan Tat Twam Asi.
Tri Hita Karana
Secara harfiah Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab kebahagiaan. (tri artinya tiga, hita artinya kebahagiaan, dan karana artinya penyebab).
Unsur-unsur Tri Hita Karana adalah :
·         Parhyangan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
·         Pawongan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga tercipta keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
·         Palemahan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya.
Secara keseluruhan Tri Hita Karana merupakan tiga unsur keseimbangan hubungan Manusia dengan Tuhan, hubungan Manusia dengan Manusia dan hubungan Manusia dengan alam lingkungannya yang dapat mendatangkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan penyebab yang satu dengan yang lainnya berjalan secara bersamaan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia senantiasa ingat akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa taqwa kepada Tuhan, senantiasa mohon keselamatan dan senantiasa pula tidak lupa memohon ampun atas segala kesalahan yang diperbuat baik kesalahan dalam berpikir, berkata maupun kesalahan dalam perbuatan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain atau berhubungan sesama manusia dengan mengembangkan sikap saling asah, saling asih dan saling asuh sehingga tercipta kerukunan hidup yang selaras, serasi dan seimbang sesuai dengan sloka yang terdapat dalam Kekawin Ramayana : ….. Prihen temen dharma dumeranang sarat, Saraga Sang Sadhu sireka tutana, Tan harta tan kama pidonya tan yasa, Ya sakti Sang Sajjana dharma raksaka …. dst. Manusia senantiasa berhubungan dengan alam lingkungannya dengan maksud untuk melestarikannya demi tercapainya kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kebahagiaan yang kekal baik di dunia maupun di akhirat kemudian hari. Merusak alam lingkungan sama artinya merusak kehidupan manusia itu sendiri karena segala kebutuhan manusia terdapat dalam lingkungan alam itu sendiri, baik binatang maupun tumbuh-tumbuhan dan segala sesuatu yang terpendam di dalam alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Tri Kaya Parisudha
Secara arti kata Tri Kaya Parisudha dapat diterjemahkan prilaku yang suci. (tri artinya tiga, kaya artinya prilaku, parisudha artinya semuanya suci).
Unsur-unsur Tri Kaya Parisudha adalah :
·         Manacika Parisudha, yaitu berpikir yang suci, baik dan benar.
·         Wacika Parisudha, yaitu berkata yang suci, baik dan benar.
·         Kayika Parisudha, yaitu berbuat yang suci, baik dan benar.

Dalam ajaran Agama Hindu, Tri Kaya Parisudha merupakan suatu etika sopan santun dan budi pekerti yang luhur yang harus dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari untuk menghindari adanya rasa kurang menghormati harkat dan martabat manusia yang dapat menimbulkan kemarahan dan rasa dendam yang berkepanjangan di antara sesama manu¬sia. Oleh karena itu perlu diperhatikan dan dihayati hal-hal yang sebagai berikut. Manusia hendaknya selalu berpikir yang suci, baik dan benar yang merupakan langkah awal untuk melangkah lebih lanjut. Kesalahan dalam berpikir walaupun tidak dilanjutkan dengan perkataan dan perbuatan sudah merupakan suatu pelanggaran dan menghasilkan hal yang tidak baik sebagai terdapat dalam ungkapan “Riastu riangen-angen maphala juga ika”. Manusia hendaknya selalu berkata yang suci, baik dan benar agar tidak menyinggung perasaan orang lain yang dapat menimbulkan kemarahan dan rasa sakit hati yang mengakibatkan permusuhan di antara sesama manusia. Oleh karena itu setiap manusia hendaknya selalu berupaya agar dapat berkata yang baik sehingga enak didengar yang dapat menimbulkan rasa simpati setiap manusia dalam berinteraksi. Rasa simpati manusia dapat mewujudkan kerukunan dalam kehidupan.
Manusia hendaknya senantiasa dapat berbuat dan bertingkah laku yang suci, baik dan benar sehingga tidak merugikan orang lain bahkan perbuatan itu selalu dapat menyenangkan orang lain dan bermanfaat bagi kehidupan manusia yang merupakan kebajikan dapat meringankan penderitaan sesama manusia. Dalam ungkapan Sarasamuscaya manusia hendaknya dapat berbuat dan bertingkah laku untuk menyenangkan orang lain (Angawe sukaning wong len) sehingga akan terwujud kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hukum karmaphala bahwa segala perbuatan yang baik akan mendapatkan imbalan atau hasil yang baik pula sesuai dengan ungkapan : “Ala ulah ala ketemu, ayu prakirti ayu kinasih”. Sebagai manusia yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna yang memiliki tri pramana yaitu bayu, sabda dan idep atau pikiran yang suci, baik dan benar. Di samping itu manusia dalam berpikir yang positif selalu mendasarkan pikirannya kepada “Catur Paramita” yaitu Maitri, mengembangkan rasa kasih sayang. Mudhita, membuat orang simpati. Karuna, suka menolong. Dan Upeksa, mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Tat Twam Asi
Apabila diterjemahkan secara artikulasi Tat Twam Asi berarti Itu adalah Kamu atau Kamu adalah Itu. Dalam pergaulan hidup sehari-hari hendaknya manusia senantiasa berpedoman kepada Tat Twam Asi, sehingga tidak mudah melaksanakan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan bahkan dapat menyakiti hati orang lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati dan benci. Tat Twam Asi menjurus kepada Tepa Selira atau Tenggang Rasa yang dapat menuntun sikap dan prilaku manusia senantiasa tidak melaksanakan perbuatan yang dapat menimbulkan sakit hati sehingga terjadi perpecahan dan permusuhan.
Oleh karena itu janganlah suka menyakiti hati orang lain karena pada hakikatnya apa yang dirasakan oleh orang lain seyogyanya kita rasakan juga. Jikalau kita memukul orang akan dirasakan sakit lalu bagaimana kalau kita dipukul orang lain pasti akan sakit pula. Marilah kita membiasakan diri untuk senantiasa menaruh rasa simpati kepada orang lain sehingga tidak pernah terlintas dalam hati untuk berbuat yang dapat menyakiti orang lain, vasudeva kuthumbhakam : kita semua bersaudara. “Salahkanlah diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang”. “Senantiasalah mengoreksi diri sebelum mengoreksi orang lain”. Untuk mendapat gambaran lebih lanjut di bawah ini akan disampaikan beberapa sloka Kerukunan yang terdapat dalam Kitab Suci Agama Hindu sebagai berikut :
    Sam Gacchadhvan Sam Vadadhvam, Sam Vo Manamsi Janatam, Deva Bhagam Yatha Purvo, Sanjanano Upasate (Rg Veda X.191.2)
        Berkumpul-kumpullah, bermusyawarahlah, Satu sama lain satukanlah semua pikiranmu, Dewa pada jaman dulu, Senantiasa dapat bersatu.
    Samani Va Akutih, Samana Hrdayani Vah, Samana Astu Vo Mano, Yatha Va Susahasati, (Rg Veda X.191.4)
        Samalah hendaknya tujuanmu, Samalah hendaknya hatimu, Samalah hendaknya pikiranmu, Semoga semua hidup bahagia bersama.
    Sarve Mandati Yasa Sagatena, Sabhasahena Sakhya Sakhyayah, Kilbisah Prt Pitusanir Hyosamaram, Hito Bhavati Vajinaya, (Rg Veda X.17.10)
        Semua teman senang hati dalam persahabatan yang dating, Dengan kejayaan setelah berhasil dalam permusyawaratan, Tuhan sesungguhnya pelindung kita dari kejahatan, Yang memberi makan, bersiap baik untuk pemulihan.
    Yadi Na Syurmanusyesu, Ksaminah Prtivismah, Na Syat Sakhyam Manusyanam, Krodhamulahi Vigrahah, (Sarasamuscaya, 94)
        Apabila tidak ada orang yang ksamawan, sabar, tahan uji, Bagaikan Ibu Pertiwi niscaya tidak ada kepastian persahabatan, Melainkanjiwa murka menyelubungi sekalian makhluk. Karenanya pasti bertengkar satu sama lainnya.
    Japye Nalva Samsidhyed, Brahmano Natra Samcayah, Kuryan Anyan Na Va Kuryan, Maitro Brahmana Ncyate, (Manawa Dharmasastra II, 87)
        Tak dapat disangkal lagi seorang yang utama, Dapat mencapai tujuan yang tertinggi dengan mengucapkan mantra, Apakah ia melakukan yadnya melalui orang lain atau melalai-kannya, Ia yang bersahabat dengan semua makhluk dinyatakan manusia utama.
    Ye Yatha Mam Prapadyante, Tams Tathal Va Bhajamy Aham, Mama Vartma Nuvartante, Manusyah Partha Arvasah, (Bhagawadgita, IV.II)
        Jalan manapun ditempuh manusia, ke arah-Ku semuanya Kuterima, Dari mana-mana semua mereka
    Devan Bhavayana Nana, Te Deva Bhavayantu Vah, Parasparam Bhavayantah, Suyah Param Avapsyatha, (Bhagawadgita, III,II)
        Dengan ini pujalah dewata, Semoga dewata memberkati engkau, Dengan saling menghormati begini, Engkau mencapai kebajikan tertinggi
Dari beberapa kutipan yang terdapat dalam Kitab Suci tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua manusia mendambakan adanya penyesuaian pikiran dan tujuan untuk mencapai hidup bersama yang bahagia. Hal tersebut sekaligus untuk mengantisipasi sikap-sikap yang negatif yang sering muncul dalam masyarakat kita yang majemuk seperti misalnya sikap fanatisme buta yaitu sikap yang meyakini kebenaran mutlak yang ada pada agama yang dipeluknya. Menurutnya hanya ada satu agama yang benar yaitu agamanya sendiri dan tidak ada agama lain. Tuhan yang Satu (Esa) hanya menurunkan satu agama saja dan tidak mungkin menurunkan agama yang berbeda. Hanya ada satu Kitab Suci yang berdasarkan wahyu, sedangkan Kitab Suci yang lain adalah buatan manusia atau wahyu yang diselewengkan. Penganut sikap fanatisme buta ini menganggap rendah agama lain namun sensitif terhadap agamanya sendiri. Sikap semacam ini banyak menimbulkan ketegangan, pertengkaran dan permusuhan antar agama. Munculnya sikap semacam itu semata-mata muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang sempit terhadap agamanya sendiri dan tidak mengetahui keberadaan agama yang lain.Di samping sikap fanatisme buta tersebut perlu dipahami sikap yang toleransi yang dapat mewujudkan rasa kerukunan umat beragama. Sikap toleransi adalah sikap menghormati agama yang dipeluknya tetapi tidak merendahkan agama lain. Sikap semacam ini muncul apabila kita memiliki pengetahuan yang baik tentang agama kita dan juga agama orang lain.
Kerukunan umat beragama berarti antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda bersedia secara sadar hidup rukun dan damai.  Hidup rukun dan damai dilandasi oleh toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan dan  bekerjasama dalam kehidupan sosial di masyarakat. Hidup rukun artinya hidup bersama dalam masyarakat secara damai, saling menghormati dan saling bergotong royong/bekerjasama. Manusia ditakdirkan Hyang Widdhi sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material, kebutuhan spiritual, maupun kebutuhan akan rasa aman. Kitab Weda (Kitab suci Umat Hindu)  memerintahkan manusia untuk selalu menjalankan Tri Hita Karana Yaitu : selalu berbakti kepada Hyang Widdhi,  hidup rukun dengan alam lingkungan, serta hidup rukun dengan sesama umat  manusia.  Dalam menjalin hubungan dengan  umat manusia, diperinthkan untuk selalu rukun tanpa memandang :  ras, kebangsaan, suku, agama, orang asing, pribumi maupun pendatang, dls. Sehingga umat Hindu selalu berdoa sebagai  berikut :
Samjnanam nah svebhih, Samjnanam aranebhih, Samjnanam asvina yunam, ihasmasu ni ‘acchalam.(Atharvaveda VII.52.1
Artinya :
Semoga kami memiliki kerukunan yang sama dengan orang-orang yang dikenal dengan akrab, Semoga kami memiliki kerukunan yang sama dengan orang-orang asing, semoga Engkau memberkahi kami dengan keserasian (kerukunan/keharmonisan)

Janam bibhrati bahudha vivacasam, nanadharmanam prthivi yathaukasam, sahasram dhara dravinasya me duham, dhruveva dhenur anapasphuranti ( Atharvaveda XII.I.45)
Artinya :
Semua orang berbicara dengan  bahasa yang berbeda-beda, dan memeluk Agama (kepercayaan) yang berbeda-beda, Sehingga Bumi Pertiwi bagaikan sebuah keluarga yang memikul beban.  Semoga Ia melimpahkan kemakmuran kepada kita dan menumbuhkan penghormatan diantara kita, seperti seekor sapi betina kepada anak-anaknya

Bahkan umat Hindu selalu berdoa untuk keselamatan seluruh mahluk hidup, seperti bait ke 5 Puja Trisandya  yang wajib dilantunkan 3 (tiga) kali dalam sehari oleh umat Hindu yang taat :

Om Ksamasva mam mahadewa, sarwaprani hitangkara, mam moca sarwa papebyah, palayaswa Sadasiwa) yang artinya : Hyang Widdhi ampunilah hamba, semoga semua mahluk hidup (Sarwaprani) memperoleh keselamatan ( hitangkara ),bebaskan hamba dari segala dosa dan lindungilan hamba. (Keterangan. : Mahadewa dan Sadasiwa adalah nama-nama ke-Maha Kuasa-an Hyang Widdhi Wasa/Tuhan YME).

Perintah-perintah Hyang Widdhi  kepada manusia supaya selalu hidup rukun. Didalam pustaka suci weda terdapat perintah-perintah Hyang Widhi tentang hidup rukun diantaranya :
               1.      Tri Hita Karana.                                                             
               2.      Tri Kaya Parisudha,  
               3.       Catur paramita      
               4.      Tat Twam Asi
        1.      Tri Hita Karana
  Tri Hita Karana artinya tiga penyebab kebahagiaan yaitu :
1.      Membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widdhi Wasa/ Tuhan YME (Parahyangan)
2.      Membina hubungan harmonis antara manusia dengan manusia tanpa membedakan asal usul, ras, suku, agama, kebangsaan dll. (Pawongan)
3.      Membina hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungan(Palemahan)
Ketiga-tiga hubungan yang harmonis ini dapat mendatangkan kebahagiaan, kedamaian, kerukunan bagi kehidupan manusia.
2.      Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha  artinya tiga perilaku yang harus disucikan yaitu :
1.Manacika Parisudha, yaitu mensucikan pikiran, antara lain: selalu berpikir positif terhadap orang lain, berpikir tenang (manahprasadah), lemah lembut (saumyatwam), pendiam (maunam), mengendalikan diri (atmawinigrahah), jiwa suci/lurus hati (bhawasamsuddir).
2. Wacika Parisudha, yaitu mensucikan ucapan, antara lain :  berkata yang lemah lembut, berkata yang tidak melukai hati/tidak menyinggung perasaan/tidak menyebabkan orang marah (anudwegakaram wakyam), berkata yang benar(satyam wakyam/satya wacana),  berkata-kata yang menyenangkan (priyahitam wakyam),  dapat dipercaya dan berguna.
3.Kayika Parisudha, yaitu mensucikan perbuatan, antara lain :     bertingkah laku yang santun,  hormat pada para orang suci/pendeta,   hormat pada para guru, hormat pada orang yang arif bijaksana,   berperilaku suci( saucam),   benar (arjawa),  tidak menyakiti/membunuh mahluk lain (ahimsa).
Tri kaya Parisudha merupakan  petunjuk Hyang Widdhi (BG.XVII.14-16) kepada manusia dalam mencapai kesempurnaan Hidup.  Trikaya parisudha diperintahkan  supaya setiap orang selalu berpikir positip terhadap orang lain, berkata-kata yang lemah lembut dan menyenangkan orang lain, serta menghindari berperilaku yang membuat orang lain tidak senang. Melaksanakan Trikaya parisudha untuk menghindari adanya rasa kurang menghormati harkat dan martabat manusia yang dapat menimbulkan kemarahan dan rasa dendam yang berkepanjangan di antara sesama manusia.
3. Catur Paramita
Di samping itu dalam pergaulanya di masyarakat manusia diperintahkan untuk  selalu mendasarkan tingkah lakunya kepada “Catur Paramita” yaitu :
1.      Maitri, mengembangkan rasa kasih sayang.
2.      Mudhita, membuat orang simpati.
3.      Karuna, suka menolong. 
4.      Upeksa, mewujudkan keserasian, keselarasan, kerukunan  dan keseimbangan  
4. Tat Twam Asi
Apabila diterjemahkan secara artikulasi Tat Twam Asi berarti Itu adalah Aku atau kamu adalah aku. Dalam pergaulan hidup sehari-hari  manusia diperintahkan selalu berpedoman kepada Tat Twam Asi, sehingga tidak mudah melaksanakan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan bahkan dapat menyakiti hati orang lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati  benci dan kemarahan.  Dengan menganggap orang lain adalah diri kita sendiri, berarti kita memperlakukan orang lain, seperti apa yang ingin orang lain lakukan terhadap kita. Tat Twam Asi menjurus kepada Tepa Selira atau Tenggang Rasa yang  menuntun manusia dalam berpikir, berkata-kata  dan berperilaku,  sehingga tidak berpikir negatif terhadap orang lain, tidak berkata-kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain,  dan tidak berperilaku  yang dapat merugikan orang lain.
Musuh-musuh dalam diri manusia penyebab terganggunya Kerukunan dan ketentraman :
Ada enam musuh utama dalam diri manusia yang harus dikalahkan untuk meningkatkan spiritualitas manusia, sekaligus bermanfaat menciptakan kerukunan dan kedamaian Umat manusia.  Ke-enam musuh yang ada pada manusia disebut Sad Ripu yaitu :
1.      Kama artinya sifat penuh nafsu indriya terutama nafsu sex.
2.      Lobha artinya sifat loba dan serakah.
3.      Krodha artinya sifat  pemarah/mudah marah.
4.      Mada artinya sifat suka mabuk-mabukan
5.      Moha artinya sifat  angkuh dan sombong.
6.      Matsarya artinya  sifat dengki dan iri hati
Selain enam musuh utama dalam diri manusia yang harus dikalahkan,  adalagi yang disebut Sad Atatayi,  yaitu enam kejahatan yang  membuat manusia menderita, sehingga dilarang untuk dilakukan  yaitu :
1. Agnida: membakar milik orang lain.
2. Wisada: meracuni dengan racun ( insektisida maupun bahan kimia atau obat-obat terlarang) orang lain atau mahluk lain.
3. Atharwa: menggunakan ilmu hitam (black magic, misalnya santet, sihir, gendam, leak dll) untuk menyengsarakan orang lain.
4. Sastraghna: mengamuk atau membunuh .
5. Dratikrama: memperkosa termasuk juga pelecehan sexual.
6. Rajapisuna: memfitnah
Dalam Bhagavadgita XVI.21-22. Kama (nafsu sex), krodha (marah) dan lobha (serakah) disebutkan sebagai tiga jalan menuju neraka (Triwidham narakasye’dam), Jalan untuk menuju kehancuran diri (dwaram nasanam atmanah ), sehingga ketiganya harus disingkirkan (tasmad etat trayam tyajet) dari diri manusia. Orang yang bisa membebaskan diri dari Kemarahan, Keserakahan, dan Nafsu sexual yang tidak pantas dan berbuat untuk kemuliaan Tuhan YME akhirnya bisa mencapai tempat yang tertinggi ( sorga bahkan moksa). Kemarahan atau orang yang marah  dapat  menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Kemarahan yang di ujudkan dengan kekerasan,  misalnya membunuh, membakar, mencelakai dan lain sebagainya mengganggu ketentraman dan kedamaian.
Orang yang cepat marah atau sering marah-marah dapat menderita   berbagai  penyakit diantaranya : serangan jantung, hipertensi, stroke dan  radang lambung (maag). Kenapa orang yang sering marah atau cepat marah mudah terserang penyakit tersebut ?,  mekanismenya sebagai berikut :
Pada saat marah,  tonus syaraf simpatis akan meningkat. Syaraf simpatis mempunyai target organ diantaranya di pembuluh darah, jantung dan glandula adrenal dan ginjal.  Pada pemuluh darah menyebabkan penyempitan pembuluh darah, pada jantung menyebabkan denyut jantung meningkat, pada glandula adrenal memacu keluarnya hormon adrenalin yang menyebabkan pembuluh darah menyempit dan jantung berdebar-debar, sedangkan pada ginjal memacu apparatus juxta glomerularis untuk mengeluarkan renin.... dst menyebabkan penyempitan pemuluh darah dan tertimbunnya cairan pada pembuluh darah.   Pembuluh darah menyempit sementara pompa jantung bekerja sangat kuat ditambah tertimbunnya cairan pada pembuluh darah menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah sangat tinggi (Hipertensi). Tekanan darah tinggi yang tidak bisa diatasi oleh pembuluh darah bisa menyebabkan pecahnya pembuluh darah, kalau diotak disebut STROKE dan kalau di jantung bisa menyebabkan mati mendadak(SADDEN DEATH). Kemarahan juga memacu syaraf parasimpatis  pada lambung,  sehingga lambung mengeluaran asam lambung,  penyebab    radang lambung (penyakit maag). Oleh karena itu kendalikan kemarahan dengan selalu BERSABAR.
Keserakahan, misalnya:  mengurangi hak orang lain, menggelapkan hak orang lain, korupsi, memindahkan patok/batas-batas tanah, merampas secara paksa hak-hak  orang lain, dll  dapat menimbulkan penderitan pada orang lain. Apabila si korban tidak bisa menerima perlakuan tersebut dapat menimbulkan percekcokan yang ujung-ujungya kerukunan terganggu. Sedangkan Nafsu seksual  yang tidak pada tempatnya (berzinah) dapat menimbulkan berbagai penyakit kelamin, HIV/AIDS dan bahkan menimbulkan pertengkaran. Oleh karenanya marah, serakah dan nafsu disebut dalam kitab suci Weda(BG. XVI.21 ) merupakan tiga jalan menuju neraka, jalan menuju kahancuran diri (Triwidham narakasye’dam,dwaram nasanam atmanah)
Kerukunan beragama dalam sejarah di Indonesia. Pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia, perselisihan antara sekte-sekte agama Hindu (sekte: Brahmanisme, Waisnawa,  Siwaisme,  Pasupata, Sora, Kala, Sakta,  Bairawa,  Ganapateya dll) dirukunkan oleh Mpu Kuturan.  Mpu Kuturan yang menjabat sebagai penasehat Raja Udayana ( Th.989-1011 M) menggabungkan berbagai sekte keagamaan Hindu yang ada di Bali menjadi tiga sekte besar. Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang diaktualisasikan dalam bentuk Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem, yang disungsung oleh tiap-tiap Desa pekraman(desa Adat) di Bali.
Perbedaan antara Siwaisme dan Budisme di Indonesia, dirukunkan oleh Mpu Tantular di jaman Majapahit(Th.1380 M) menjadi Agama Siwa-Budha, yang tertuang dalam buku Sutasoma, dimana Purusadha mewakili Siwaisme dan Sutasoma mewakili Budhisme.  Didalam Buku Sutasoma terdapat kalimat  “Bhineka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa “, artinya : Meskipun berbeda-beda  tetap Satu, tidak ada kebenaran mendua. Penyatuan sekte-sekte ini tidak bertentangan dengan Weda, kitab sucinya umat Hindu, kitab yang  berasal dari Hyang Widdhi, seperti dinyatakan langsung oleh Hyang Widdhi dalam BG. XV.15”  Weda ntakrid wedawid ewa ca ‘ham/ Akulah pencipta weda dan Aku yang mengetahui isi weda.  Kitab Weda disebut juga  sastrawiddhi/ sastra brahman karena berasal dari Hyang Widdhi/Brahman/Tuhan YME.
Didalam Weda (Rg.Veda I.64.46) terdapat mantra  berikut : Ekam sadvipra bahudha vadanti, yang artinya : Ia adalah Esa (Ekam Sad=Ia Satu/Esa). Para bijaksana(Vipra=orang bijak) menyebut dengan berbagai nama (bahudha vadanti=menyebut dengan berbagai nama ).
Penyatuan Siwa-Budha tidak otomatis membuat umat Budhis menjadi Siwaisme atau sebaliknya penganut Siwaisme menjadi Budhis. Penyatuan hanya dalam tataran sosial kemasyarakatan.Dengan konsep agama Siwa-Budha para  menganut Siwaisme dan Budhisme bisa hidup rukun, meski tetap dalam perbedaan tata cara ritual, tempat ibadah maupun penyebutan terhadap nama Tuhan Yang Maha Esa.  Bahkan saat upacara besar seperti Tawur Agung ke Sanga, menjelang tahun baru Saka/NYEPI),  ke empat Pendeta yaitu, Pendeta Siwa, Pendeta Waisnawa, Pendeta dari Brahmanisme dan Pendeta Buddha secara bersama-sama muput upacara Tawur Agung Kesanga.
B. Agama Merupakan Rahmat Bagi Semua Umat Manusia
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म “Kebenaran Abadi”), dan Vaidika-Dharma (“Pengetahuan Kebenaran”). kata Hindu berakar dari kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Kata “agama” yang dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata “gam” yang artinya “pergi” atau “perjalanan”. Urat kata “gam” ini mendapat prefix “a” yang berarti “tidak” dan tambahan “a” di belakang yang berarti “sesuatu” atau dapat berfungsi sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Dengan demikian kata agama diartikan “sesuatu yang tidak pergi”, tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Nabi (Maha Resi) untuk mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam kehidupan jasmaniah.
DHARMA
Kata “Dharma” berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata “dhr” (baca: dri) yang artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata “dhr” ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya. Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran, kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang luhur.
Pustaka Smrti Santi Parwa 109.11:
Dharanad dharma ityahur
Dharmena widrtah prajah
Artinya:
Kata dharma dikatakan datang dari kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur). Dengan dharma semua makhluk diatur. Istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada jaman klasik. Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya dengan nama agama Weda atau Jaman Weda. Kemudian Hindu dipakai nama dengan mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa Sanskerta di mana penggunaan huruf “s” dan “h” dapat ditukar- tukar, misalnya kata “Soma” dapat menjadi kata Homa, kata “Satima” dapat menjadi Hatima, dan sebagainya.
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci). Istilah agama dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai.
Tujuan Agama Hindu
MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH
Jadi secara garis besar tujuan agama Hindu adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak. Di dalam kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai tercantum dalam sloka “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah” yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa, dengan kata lain bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Moksa juga disebut Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Salam Agama Hindu
OM SWASTYASTU
Untuk membina hubungan yang harmonis dan mempererat rasa persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat, agama Hindu mengajarkan salam persaudaraan (panganjali) dengan ucapan “Om Swastiastu”. Salam ini dapat juga dipergunakan dalam memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri sesuatu kegiatan dapat juga memakai “OM SANTI, SANTI, SANTI, OM” yang artinya semoga damai. Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan “Om Swastiastu” dengan sikap yang sama pula.
“Om” artinya Tuhan, “Su” artinya baik, “Asti” artinya ada dan “Astu” artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
NAMASTE
Namaste berasal dari 2 kata “Namah” yang artinya menunduk, hormat; dan “Te” yang artinya padamu, merupakan cara yang lazim digunakan untuk menyapa atau memberi salam di Asia Selatan. Namaste digunakan oleh multi-agama dan lebih ditekankan pada representasi arti dari “Saya Menghormati Anda”. Ketika berbicara dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan mencakupkan kedua tangan di depan dada. Filosofi Namaste bagi saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste, mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya sembah.
Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut dengan “Jiwa”. Dan Jiwa inilah “cahaya” Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan penghormatan tertinggi. Namaste…!
Lambang Agama Hindu
Lambang atau simbul dalam keagamaan merupakan sarana pengikat keyakinan umatnya untuk lebih mendekatkan hati dan perasaannya kepada cita- cita hidup keagamaan, disebut juga Niyasa atau Murti Puja. Agama Hindu mempergunakan Swastika sebagai lambang. Adapun bentuk asli dari lambang SWASTIKA ialah dua garis vertikal dan horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di tengah- tengah (+).Sebagai kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika juga mengalami perkembangan sehingga kemudian menjadi berbentuk :
Swastika menggambarkan keharmonisan perputaran alam semesta dengan segala romantika, dinamika dan dialektikanya. Hal mana pada hakekatnya menunjukkan kemahabesaran Sang Hyang Widhi Wasa selaku Maha Pencipta. Kata Swastika berarti keselamatan atau kesejahteraan. Garis vertikal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan pencipta- Nya yaitu Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan garis horisontal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya, termasuk hubungan manusia dengan alam. Apabila hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya terjalin dengan harmonis, maka manusia akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat tujuan agama. Keempat garis di ujung- ujung garis vertikal dan garis horisontal menunjukkan arah perputaran Swastika, yaitu berputar ke arah kanan. Jadi Swastika juga melukiskan gerak, yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah kanan. Pada hakekatnya semua isi alam juga mengalami perputaran seperti angin, air, dan sebagainya, untuk menimbulkan keharmonisan di alam ini.
C. Hakikat Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama
Indonesia adalah negara yang amat luas dengan masyarakat yang serba ganda, terdiri dari berbagai suku dengan berbagai adat istiadat dan agama yang dianut. Agama mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Menyikapi kondisi ini Umat Hindu mengamalkan ajaran Tat Tvam Asi sesuai dengan ajaran Veda, seperti dalam Chandogya Upanisad, yang bermakna bahwa setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya dan teman dari insan ciptaaan-Nya. Filsafat Tat Tvam Asi, Dharma Agama dan Dharma Negara adalah merupakan dasar etik dan moral bagi umat Hindu dalam menjalankan kewajibannya, baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai warga negara.
Berpedoman pada ajaran Tat Tvam Asi itu, umat Hindu dituntut untuk melaksanakan sosialisasi kehidupan beragama ke arah persahabatan antara sesama manusia, bahkan dengan alam semesta yang hakikatnya bersumber dari Yang Satu (Yang Maha Kuasa penakdir segala ciptaan). Pengamalan Dharma Agama tidak boleh menyimpang dari petunjuk pustaka suci Veda, oleh karena itu sosialisasi dan inkulturisasi nilai-nilai luhur agamanya diarahkan agar setiap umat Hindu dapat mengamalkan ajaran agamanya secara benar dan utuh. Ajaran Tat Tvam Asi, Dharma Agama dan Dharma Negara hendaknya dapat mewujudkan konsepsi/ajaran Tri Hita Karana ke dalam kehidupan nyata sehari-hari sehingga konsep Hindu tentang kerukunan dalam kehidupan bernegara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dapat mewujudkan kebahagiaan dan kedamaian. Umat Hindu hendaknya memandang dan percaya bahwa agama lain mengandung nilai kebenaran dan nilai suci serta jalan menuju kebenaran Tuhan.
Pluralisme agama menjadi hal yang unik hingga saat ini, karena ia menjanjikan hal-hal tentang kehidupan damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda, terutama agama. Tentu saja bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia hal ini mendapat respon yang sangat bagus juga. Pluralisme agama hadir sebagai penyelamat diantara adanya perpecahan terhadap klaim-klaim kebenaran absolute diantara beberapa agama yang ada, setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat semua. Problem waktu dan sejarah memang yang telah mengantarkan hal semacam pluralisme agama ini ada dan bila kita dapat menyangsikan bahwa sejarah telah berkata sedemikian rupa pluralitas itu wajar adanya. Pada saat ini muncul sebagai sesuatu tantangan baru bagi masyarakat modern, untuk dapat menerimanya dalam fakta social yang sedang berkembang. Manusia sebagai pelaku dari masyarakat memang harus menyangsikan kenyataan yang ada pada zaman seperti saat ini, manusia tidak lagi hidup sendiri dalam suatu komunitas agamanya akan tetapi mereka saling berdampingan dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu Negara, satu wilayah, satu kota, dan bahkan dalam satu perkampungan yang sama. Fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri, sehinga mau tidak mau memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi yang jitu untuk dapat merespon problematika tersebut. Gagasan kesetaraan agama atau yang sering disebut Pluralisme agama, dalam perjalanan waktunya menimbulkan berbagai macam arti dan pengertian terhadapnya, penerimaan terhadap ide ini ataupun sebaliknya masih tetap menjadi pergulatan sampai saat ini. Untuk itu, sebaiknya dalam pembahasan terhadap gagasan ini seharusnya dapat melihat secara luas terhadap dampak yang telah nyata terbukti menjadikan ummat beragama menjadi rukun dan dapat menjalankan roda kehidupan dengan baik dan berdampingan. Definisi Pluralisme Agama Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “al-ta`addudiyah al-diniyyah” dan dalam bahasa inggris “religious pluralism”. Dengan terminologi yaitu koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.[1] Sementara itu definisi dari agama dalam wacananya agak mengalami kesulitan tersendiri, bahkan hampir mustahil untuk dapat mendefinisikan agama yang bias diterima atau disepakati semua kalangan. Untuk itu setidaknya ada tiga cara pendekatan yaitu segi fungsi, institusi, dan subtansi.[2] Para ahli sejarah, cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis. Para ahli di bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya. Pakar teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang sakral. Pada hakikatnya ketiga pendekatan itu tidak saling bertentangan, melainkan saling melenyempurnakan dan melengkapi, khususnya jika menginginkan agar pluralism agama didefinisikan sesuai kenyatan objektif di lapangan.[3] Dan jika “pluralisme” dirangkai dengan “agama” sebagai predikatnya , maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bias dikatakan bahwa pluralism agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[4] Pandangan Nurcholis Madjid terhadap Pluralisme Agama[5] adalah adanya tiga sikap dialog agama yang dapat diambil : 1. Sikap eksklusif dalam melihat agama lain Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan umat. 2.Sikap inklusif Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita. 3. Sikap pluralis Bisa terekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “ Setiap agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah kebenaran”. Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Jadi, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Masalah Islam vis a vis pluralisme adalah masalah bagaimana kaum muslim mengadaptasi diri dengan dunia modern. Dan ini, pada gilirannya, melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu. Menurut Wilfred Cantwell Smith[6], Pluralisme Agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain. Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima. Semua agama mengarah kepada tujuan akhir yakni Tuhan. Smith menulis: Tuhan adalah tujuan akhir agama juga dalam pengertian bahwa begitu Dia tampil secara gambling di hadapan kita , dalam kedalaman dan kasih-Nya , maka seluruh kebenaran lainnya tak heni-hentinya memudar; atau sekurang-kurangnya hiasan agama jatuh ke bumi, tempatnya yang seharusnya, dan konsep agama ‘berakhir’. Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut. Dengan demikian pluralisme agama telah mencapai titik keniscayaannya, dalam pengertian terhadap pendefinisiannya, agama memang memiliki peran normatif maupun historis[7], akan tetapi bagaimana agar agama tidak menjadi suatu perselisihan tentang mana yang benar dan mana yang salah akan tetapi menuju kepada pemahaman ekslusif terhadap agama itu sendiri dan inklusif terhadap agama lain, sehingga dapat dicapai pluralitas terhadap agama dan berefek kepada toleransi dan kedamaian dalam berkehidupan yang koeksistensi ini. Kita memang terlalu jauh terbawa arus latar belakang dan sejarah perkembangan pluralisme agama yang sangat dilematis-kompleks, tanpa melihat sisi waktu yang mengarahkan kepada hal-hal yang lebih luas. Seperti dapat dipahami bersama bahwa zaman dulu dengan sekarang tampaknya sudah agak jauh berbeda, sekarang manusia sudah harus menjalani hidupnya berdampingan anatara satu dengan yang lainnya dengan keberagaman agama yang dianut oleh masing-masing manusia. Hal ini menimbulkan pergeseran nuansa pemahaman kembali terhadap agama yang dibawa manusia tersebut. Pluralisme agama telah melahirkan tren-nya dan implikasi yang luas, hal ini mungkin yang agak tidak disukai oleh beberapa kalangan, mulai dari sentralitas manusia, sekularisme sebagai asas agar dapat berdampingan antar ummat beragama, transformasi pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan, terjadinya sinkretisme sampai pada terminasi agama-agama hingga munculnya agama baru. Dalam kompleksitas keragaman ummat beragama sekiranya dapat dipahami bahwa pluralisme agama sangatlah wajar, kalaupun tidak diterima trus akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Apa solusi yang dapat diberikan untuk dapat menjaga citra baik antara ummat beragama yang berbeda-berbeda ini?. Dengan tidak mengatakan kebenaran absolut bagi agama masing-masing, toh kebenaran milik Tuhan, dan kebenaran Tuhan ditafsirkan menurut zamannya dan para penafsirnya. Adanya keberagaman pemeluk semua agama atau pemeluk agama beda paham untuk dapat membangun kesadaran bersama akan tujuan mulia semua agama. Dengan cara demikian, agar dapat terbuka peluang dan ruang dialog kemanusiaan bagi pemeluk semua agama, sehingga dimungkinkan pengembangan praktik keberagaman yang lebih santun dan manusiawi.
D. Implementasi Kerukunan Hidup Umat Beragama dalam Kehidupan Sehari-hari
Masyarakat Indonesia dianut berbagai agama yang tersebar dan berbaur di seluruh kawasan baik perkotaan maupun pedesaan Indonesia. Pemahaman tentang kerukunan beragama semakin menjadi penting atas dasr kenyataan bahwa komunikasi antar penganut agama tidak dapat dihindari lagi. Kerukunan adalah kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong, sesuai dengan ajaran agama dan keprobadian Pancasila.
            Hidup merupakan pengamalan ajaran agama masing-masing dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai insan individual maupun insan sosial, taat dan berbudi luhur. Kerukunan hidup beragama menggambarkan kondisi masing-masing agama, oleh masing-masing penganut tanpa menimbulkan benturan yang meresahkan di antara penganut agama karena adanya sikap saling menghormati, harga menghargai, saling pengertian yang mendalam. Masing-masing penganut menjalankan ibadahnya tanpa merugikan dan dirugikan oleh penganut agama lainnya.  Kerukunan hidup beagama tidak pul berarti mencampur adukkan ajaran agama yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETIKA (MORALITAS) PERSPEKTIF HINDU

PENYUSUNAN PROGRAM BIMBIMNGAN KONSELING

MANUSIA PERSPEKTIF HINDU