ETIKA (MORALITAS) PERSPEKTIF HINDU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama memiliki peran
yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam
upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat.
Menyadari peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia maka
internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan,
yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, di
lembaga pendidikan formal maupun nonformal serta masyarakat.
Pendidikan Agama dimaksudkan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual.
Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari
pendidikan Agama. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan
pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Ajaran agama Hindu
dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan tiga kerangka dasar, di
mana bagian yang satu dengan lainnya saling mengisi, dan satu kesatuan yang
bulat, sehingga dapat dihayati, dan diamalkan untuk mencapai tujuan yang
disebut Moksa. Tiga kerangka dasarnya, yaitu: (1) tattwa, (2) susila, dan (3)
upacara. Ketiganya secara sistematik merupakan satu kesatuan yang saling
memberi fungsi atas sistem agama Hindu secara keseluruhan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kerangka
dasar agama hindu?
2. Jelaskan pengertian etika dalam agama
hindu!
3. Apa tujuan etika dalam agama hindu?
4. Bagaimana etika dalam agama hindu?
5. Jelaskan pengertian susila!
6. Jelaskan nilai dari etika!
7. Jelaskan dasar-dasar etika hindu!
1.3 Tujuan
1. Dapat memahami yang dimaksud dengan kerangka
dasar agama hindu.
2. Dapat menjelaskan pengertian etika
dalam agama hindu.
3. Dapat mengetahui tujuan etika dalam
agama hindu.
4. Dapat menjelaskan etika dalam agama
hindu.
5. Dapat menjelaskan pengertian susila.
6. Dapat memahami nilai dari etika.
7. Dpat mengetahui dasar-dasar etika
hindu.
1.4 Manfaat
1. Membantu mahasiswa untuk paham tentang
beretika.
2. Membantu mahasiswa untuk sadar akan
kebaikan dalam beretika
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kerangka Dasar Agama Hindu
Agama Hindu mempunyai
bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini sebagai pedoman bagi umat Hindu
dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya sehari-hari. Semua ajaran
tentang kerangka dasar ini bersumber dari Kitab Suci Weda dan Kitab-kitab Suci
Agama Hindu lainnya. Kerangka dasar agama Hindu tersebut ialah:
Tattwa atau Filsafat Agama Hindu
Susila atau Etika Agama Hindu
Upacara atau Ritual Agama Hindu
Bagi umat Hindu
menjalani serta memahami ketiga kerangka dasar tersebut menjadi suatu kewajiban
dan sangat penting. Oleh karenanya setiap umat Hindu akan dengan
sungguh-sungguh melaksanakan ketiga kewajiban tersebut.
Tattwa merupakan inti
ajaran Agama, sedangkan susila sebagai pelaksana ajaran dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Ida Sanghyang
Widi, maka dilaksanakan pengorbanan suci yaitu berupa upacara atau ritual.
2.2 Pengertian Etika Dalam Agama Hindu
Dalam agama Hindu etika
dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik, dan
sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Dalam hal
ini maka etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata
nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang
harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan
tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya
etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang
menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan
menghargai orang lain.
Etika menjadikan
kehidupan masyarakat menjadi harmonis, karena saling menjunjung tinggi rasa
saling menghargai antar sesama dan saling tolong menolong. Dengan etika akan
membina masyarakat untuk menjadi anggota keluarga dan anggota masyarakat yang
baik, menjadi warga negara yang mulia.
Etika (Ethic = Bahasa Inggris)
artinya, susila, kesusilaan, ilmu akhlak. Sila adalah salah satu kerangka dasar
ajaran agama Hindu (Tatwa, Sila Upacara) atau merupakan ajaran pertama dan
utama dari Saptangga Dharma, yaitu:
1) Sila = Kesusilaan
2) Yadnya = Persembahan suci
3) Tapa = Pengendalian diri
4) Dana = Berderma
5) Prawrjya = Menyebarkan Dharma
6) Diksa = Upacara inisisai
7) Yoga = Menunggalkan diri dengan Tuhan
Pada Sloka Wrehaspati
Tattwa No. 25 itu dijelaskan bahwa, “Sila ngaranya mangrakascara rahayu”, yang
artinya Sila adalah menjaga perilaku/kebiasaan agar tidak menyimpang dari
norma-norma kebenaran dan kebaikan. Dengan lain katanya, memelihara perangai
yang baik dan benar menurut Dharma Agama dan sosial budaya. Suatu perilaku
dikatakan etis apabila; sopan, pantas/wajar, baik, dan benar sesuai norma dan
nilai yang berlaku. Sedangkan norma atau aturan tingkah laku yang baik dan
mulia disebut Tata Susila.
Ajaran Hindu tidak
memakai istilah dogmatik baik dan jahat atau surga dengan neraka melainkan
memiliki etika-etika yang berdasar karena kebutuhan untuk menyelaraskan
keinginan individu, emosi, dan ambisi untuk mengarahkannya pada sebuah
kehidupan yang harmonis di bumi dengan tujuan mutlak dari agama Hindu untuk
menyadari keberadaan kita sendiri. Kesadaran diri menurut pandangan Hindu
adalah kesadaran pada diri kita dengan Tuhan, sebagai sumber dan intisari dari
keberadaan manusia dan kebebasannya. Dalam kitab Hindu menyatakan bahwa setiap
individu yang terdiri dari tubuh fisik (sarira), pikiran (manas), intelek
(buddhi), dan diri (atman). Berdasarkan 4 hal itu, setiap individu membutuhkan
hal-hal keduniawian (artha) untuk dapat mempertahankan tubuh fisik dan
memuaskan segala kebutuhan keluarga dengan ketergantungannya. Untuk memuaskan
pikiran dan intelek, kebutuhan untuk memenuhi keinginannya dan pengejaran
intelek (kama) atau penyatuan dengan Tuhan merupakan tujuan utama dalam
kehidupan manusia.
Setiap manusia harus
memainkan perannya demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia dengan melakukan
tindakan yang dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai dengan batasan
dharma (kebenaran), tugas, moral, dan hukum sosial. Sehingga dalam hal ini
terdapat empat tujuan prinsip hidup manusia yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.
Dharma adalah yang pertama, yang menandakan bahwa ketiganya tidak dapat
dipenuhi tanpa memenuhi kewajiban dharma. Moksa adalah tujuan yang terakhir
karena keterikatan adalah memungkinkan ketika dari ketiga bagian lain sudah
terpenuhi. Walaupun dharma memiliki arti yang berbeda dari sudut pandang etika,
dharma adalah sistem moral dan nilai etika. Hindu Dharma menyadari adanya tujuh
faktor yang membuat seseorang menyimpang dari jalan dharma atau mengarah untuk
perbuatan dosa, yaitu penderitaan (tresna), kemarahan (krodha), ketamakan
(lobha), keterikatan (moha), rasa bangga (mada), kecemburuan (matsarya), dan
egoisme (ahankara).
Untuk menghindari
manusia tidak menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut, maka di dalam
filsafat Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan "Dharma
Laksana", yang terdapat di dalam kitab "Manu Smrti" yaitu
sebagai berikut:
Akrodha (tidak marah):
Kemarahan yang menutupi alasan, menghasilkan perbedaan antara benar dan salah,
serta kebajikan dan keburukan. Ketika pemikiran yang dapat membedakan itu
dirusak maka orang tersebut akan kehilangan identitas diri. Seseorang yang
marah akan menyakiti diri sendiri dan orang lain, dengan tiga cara yang berbeda
secara fisik (melalui kekerasan), secara verbal (melalui kata-kata kasar), dan
secara mental (melalui keinginan yang buruk). Pengendalian kemarahan dapat
diartikan sebagai sebuah pemikiran yang baik dalam diri.
Asteya (tidak mencuri):
Secara umum mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil dengan paksa atau
dengan tidak adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika Hindu, mencuri
juga termasuk didalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain dan di atas
kebutuhan legistimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau mengambil
kesempatan mereka dengan memiliki sesuatu melalui maksud yang ilegal. Kurangnya
pengendalian indera dan ketamakan seseorang biasanya menimbulkan suatu
keinginan untuk mencuri. Seseorang yang memegang teguh asteya akan bebas dari
ketamakan dan tidak memiliki keinginan untuk mencuri.
Atma Vinigraha
(pengendalian pikiran): Pikiran yang terganggu tidak dapat akan membedakan
benar dengan yang salah atau kebaikan dengan keburukan. Konsentrasi dalam
memberikan kebijaksanaan dan kasih yang mendalam dapat meningkatkan kekuatan
pikiran.
Dama (pengendalian diri
atau pengendalian indera): Indera harus dapat dikendalikan sehingga dapat
berfungsi sesuai dengan pengarahan alasan. Pengendalian diri bukan tidak
berarti penolakan diri namun dalam bersikap sederhana dalam memuaskan kebutuhan
dan menghindari kebodohan. Seseorang yang dapat mengendalikan dan membebaskan
dirinya dari berbicara yang lepas kendali, gosip, minum berlebihan, dan menjaga
tubuh dan pikirannya agar terkendali. Kurangnya diskriminasi antara apa yang
yang harus dan tidak harus dilakukan yang mengarahkan seseorang pada
angan-angan. Sebuah pikiran yang berkhayal menjadi tidak sehat untuk dapat
menyadari tujuan dari hidup seseorang.
Dhi (kemurnian pikiran):
Kemurnian pikiran dan intelek adalah lebih penting daripada kecerdasan. Seorang
manusia yang memiliki kemurnian intelek akan bebas dari rasa sakit, temperamen
yang tidak baik, perasaan yang buruk, dan keinginan yang tidak dapat diduga.
Para Rsi Hindu berpendapat bahwa kecerdasan sangat dianjurkan untuk pengajaran
pada kitab agar melakukan perbuatan yang baik dan pikiran yang mulia serta
meditasi yang teratur.
Dhrti (ketetapan dan
persistence): Seseorang harus tetap dalam hal pendirian untuk dapat menemukan
kebenaran. Pikiran yang selalu terus beriak tidak akan dapat menemukan
kebenaran. Hidup yang benar sangat dimungkinkan hanya dengan komitmen seseorang
untuk menjalankan kehidupannya.
Ksama (pengampunan atau
kesabaran): Pengampunan adalah kebaikan yang utama dari moral dan etika hidup.
Pengampunan dapat mempertahankan kesucian pikiran bahkan situasi yang
provokatif dalam kehidupan seseorang.
Satya (kebenaran): Satya
tidak berarti semata-mata berkata yang benar, perkataan dan perbuatan, dan
dalam hubungan kita dengan orang lain. Untuk menjalankan kehidupan yang
bermoral dan hidup yang beretika, maka seseorang harus melakukan kebenaran.
Konsep dari moralitas dapat berubah setiap waktu, namun kebenaran tidak akan
pernah berubah. Tidak ada seorangpun yang dapat menyembunyikan kebenaran secara
terus menerus.
Sauca (kemurnian tubuh
dan pikiran): Kemurnian itu terbagi dalam dua jenis yaitu fisik dan mental.
Kemurnian fisik berarti menjaga tubuh seseorang bersih dari luar maupun dalam.
Kebersihan diri dari dalam dapat diperoleh dengan menjalankan hukum kesehatan
yang baik dan memakan makanan yang "sattvika" (makanan yang
menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan, panjang umur, dan yang bergizi serta
mengandung nutrisi). Kebersihan luar artinya mengenakan pakaian yang bersih dan
menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian mental berarti bebas dari pemikiran yang
negatif dari nafsu, ketamakan, kemarahan, kebencian, rasa bangga, kecemburuan,
dan lain-lain.
Vidya (pengetahuan):
Kitab Hindu menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis yaitu pengetahuan
yang lebih rendah (apara-vidya) dan pengetahuan yang lebih tinggi (para-vidya).
Pengetahuan yang lebih rendah artinya pengetahuan yang bersifat keduniawian
dalam bidang ilmu dan pengetahuan yang sangat diperlukan untuk kehidupan di
dunia. Sedangkan pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan spiritual
yang mengajarkan cara untuk dapat mengatasi kesengsaraan yang tidak diharapkan,
menggapai tujuan yang bukan halangan, serta mencapai kekuatan mental dan
spiritual untuk dapat mengatasi perjuangan hidup. Pengetahuan spiritual dapat
diperoleh melalui belajar kitab yang berhubungan dengan orang suci, dan dengan
melakukan perbuatan yang tidak mementingkan diri (niskama). Pengetahuan
spiritual juga dapat membantu seseorang untuk menjalankan kehidupan yang
berarti, yang menguntungkan secara sosial. Tujuan pengetahuan spiritual ini adalah
untuk mencapai penyatuan yang mutlak dengan Tuhan.
2.3 Tujuan Etika Dalam Agama Hindu
Tujuan diperintahkannya untuk
menjalankan antara lain:
Untuk membina agar umat Hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup
rukun dan harmonis di dalam keluarga maupun masyarakat.
Untuk membina agar umat Hindu selalu bersikap dan bertingkah laku yang
baik, kepada setiap orang tanpa pandang bulu.
Untuk membina agar umat Hindu dapat menjadi manusia yang baik dan
berbudi luhur.
Untuk menghindarkan adanya hukum rimba di masyarakat, dimana yang kuat
selalu menindas yang lemah.
Dengan tujuan-tujuan tersebut
diharapka umat Hindu menjadi manusia yang berbudi luhur, cinta kedamaian, dan
hidup rukun dalam negara dan bangsa.
2.4 Etika Dalam Agama Hindu
Etika agama Hindu pada
dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia. Dengan adanya
pedoman tersebut diharapkan seluruh umat hidup dapat menjalani serta memahami
secara baik dan benar. Kerangka dasar etika dalam Hindu Dharma antara lain:
I.
Tri Kaya Parisuda
Tri Kaya Parisuda
berasal dari kata tri artinya tiga, kaya berarti tingkah laku dan parisuda
mulia atau bersih. Tri Kaya Parisuda dengan demikian berarti tiga tingkah laku
yang mulia (baik).[8]
Adapun tiga tingkah laku yang baik
termaksud adalah:
1. Manacika (berpikir yang baik dan
suci). Seseorang dapat dikatakan manacika apabila ia:Tidak menginginkan sesuatu
yang tidak halal, Tidak berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk
lainnya, Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
2. Wacika (berkata yang baik dan benar).
Seseorang dapat dinyatakan sebagai wacika, apabila ia:
Tidak mencaci maki orang lain.
Tidak berkata-kata yang kasar kepada orang lain.
Tidak memfitnah atau mengadu domba
Tidak ingkar janji.
3. Kayika (berbuat yang baik dan jujur).
Seseorang dapat dikatakan kayika, manakala ia:
Tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh.
Tidak berbuat curang, mencuri atau merampok.
Tidak berzina
II.
Panca Yama Brata
Panca Yama Brata berasal
dari tiga suku kata, yaitu panca berarti lima, yama artinya pengendalian dan
brata yang berarti keinginan. Panca Yama Brata ialah lima keinginan untuk
mengendalikan diri dari godaan-godaan nafsu yang tidak baik. Lima macam
pengendalian diri yang perlu diperhatikan oleh umat Hindu ialah:
1. Ahimsa (tidak menyakiti atau
membunuh). Ahimsa berasal dari kata a yang berarti tidak, dan himsa yang
berarti membunuh atau menyakiti. Jadi ahimsa berarti tidak membunuh atau tidak
menyakiti orang (mahluk) lain. Menyakiti apalagi membunuh adalah suatu
perbuatan dosa yang besar dan dilarang oleh Agama Hindu.
2. Brahmacari (berpikir suci, bersih dan
jernih). Brahmacari berasal dari kata brahma yang berarti ilmu pengetahuan, dan
car berarti bergerak. Jadi brahmacari maksudnya bergerak atau bertingkah laku
dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tegasnya bagaimana perilaku seseorang dalam
mempelajari ilmu pengetahuan tentang ajaran-ajaran yang termuat dalam Kitab
Suci Weda, harus selalu berpikir bersih dan jernih serta hanya memikirkan
pelajaran atau ilmu pengetahuan saja dan tidak memikirkan masalah-masalah
keduniawian.
3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan
kejujuran). Ada lima jenis satya yang disebut Panca Satya dan patut
diperhatikan oleh umat Hindu, yakni:
a. Satya Wacana yaitu setia dan jujur
dalam berkata-kata, tidak sombong, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak
sopan, tidak berkata-kata yang menyakitkan serta tidak memaki.
b. Satya Hredaya yaitu setia terhadap
kata hati dan selalu konsisten atau berpendirian teguh.
c. Satya Laksana yaitu jujur dan
bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkan.
d. Satya Mitra yaitu selalu setia kepada
teman dan tidak pernah berkhianat.
e. Satya Semaya yaitu selalu menepati
janji, tidak pernah ingkar kepada janjinya.
4. Awyawahara (tidak terikat
keduniawian). Awyawahara berasal dari kata a yang berarti tidak, dan wyawahara
yang artinya terikat dengan kehidupan duniawi. Dengan demikian awyawahara
berarti tidak terikat dengan kehidupan duniawi.
5. Asteya atau Asteneya (tidak mencuri).
Asteya berasal dari kata a yang berarti tidak, dan steya berarti mencuri atau
memperkosa milik orang lain. Jadi asteya berarti tidak mencuri atau tidak ingin
memiliki barang orang lain.
III. Dasa Yama Brata
Etika Dasa Yama Brata antara lain:
1. Anrsamsa (tidak kejam). Anrsamsa
berasal dari kata a yang berarti tidak, dan nrsamsa berarti orang yang kejam.
Jadi Anrsamsa berarti orang yang tidak kejam.
2. Ksama (pemaaf). Mudah memaafkan
kesalahan orang lain merupakan perbuatan yang sangat terpuji. Berbuat keliru
adalah sifat manusia, karena setiap orang pernah membuat kesalahan.
3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan
kejujuran)
4. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh)
5. Dama (mengendalikan hawa nafsu)
6. Arjawa (tetap pendirian)
7. Priti (welas asih). Memberi perhatian
dan bantuan kepada masyarakat yang menghadapi berbagai kesulitan adalah sesuai
dengan ajaran agama. Berilah bantuan kepada siapa saja yang memerlukannya.
8. Prasada (berpikir jernih dan suci)
9. Madhurya (ramah tamah). Madhurya
berasal dari kata madu yang berarti manis. Madhurya berarti hidup yang manis,
maksudnya selalu murah senyum, ramah tamah dengan siapa saja.
10. Mardawa (lemah lembut). Orang yang
lemah lembut akan disukai oleh kawan-kawannya. Sebaliknya orang yang
berperilaku kasar akan dijauhi.
IV.
Panca Niyama Brata
Panca Niyama Brata adalah lima cara
pengendalian diri lanjutan (tahap kedua) untuk dapat tercapainya ketenangan dan
ketentraman batin. Kelima cara dimaksud adalah:
1. Akrodha (tidak marah). Akrodha berasal
dari kata a yang berarti tidak, dan krodha berarti marah. Jadi Akrodha berarti
tidak marah.
2. Guru Susrusa (hormat kepada guru).
Setiap orang ataupun murid haruslah menghargai dan menghormati gurunya.
Pengertian guru disini adalah dalam pengertiannya yang luas, yakni: Guru
Rupaka, orang tua (ibu dan bapak); Guru Pengajian, yaitu guru yang memberikan
pendidikan dan pengajaran di sekolah; dan Guru Wisesa, yaitu Pemerintah yang
mengayomi rakyatnya, yang beusaha mensejahterakan dan memberikan perlindungan
kepada rakyatnya.
3. Sauca (bersih atau suci). Manusia
seyogyanya berhati bersih atau suci baik lahir maupun batin, jasmani maupun
rohani.
4. Aharalaghawa (makan makanan
sederhana). Aharalaghawa berasal dari kata ahard yang berarti makan, dan
taghawa yang berarti ringan. Dengan demikian Aharalaghawa berarti makan makanan
yang ringan-ringan, yang sederhana atau makan seperlunya dan tidak berlebihan.
5. Apramadha (tidak mengabaikan
kewajiban). Apramada berarti tidak mengabaikan kewajiban, maksudnya selalu
ingat dengan tugas kewajiban.
V. Dasa Niyama Brata
Dasa Niyama Brata
merupakan suatu etika lanjutan dalam agama Hindu yang lebih tinggi lagi
tingkatannya. Dasa Niyama Brata terdiri dari:
1. Dana (bersedekah). Dana diartikan
sebagai harta benda, yaitu berupa pemberian sedekah kepada masyarakat miskin,
masyarakat yang kekurangan, dan yang memerlukan bantuan. Dalam memberikan
sedekah harus dilandasi dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih atau tanpa harapan
adanya balas jasa.
2. Ijya (memuja dan memuji Tuhan).
Manusia sebagai mahkluk yang lemah harus senantiasa ingat kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Dengan memuja dan memuji Tuhan akan selalu mengingatkan manusia,
bahwa Tuhan maha pencipta dan pemberi hidup kepada manusia, dan karena itu
manusia berhutang budi kepada-Nya. Memuja dan memuji Tuhan harus dilandasi
dengan jiwa yang tulus, sembah sujud, khidmat, dan penuh rasa pengabdian.
3. Tapa (menjauhi kesenangan duniawi).
Manusia diharapkan agar selalu berusaha melakukan pengendalian diri terhadap
kesenangan dunia, karena dapat membuat
celaka. Mengendalikan diri dengan Tapa yaitu berusaha mengurangi kebiasaan
sehari-hari, sepert makan yang
berlebihan, tidur terlalu lama, berbicara yang tidak bermanfaat, dan lain-lain.
Mengurangi kebiasaan berarti mengendalikan keinginan, dan pada akhirnya manusia
akan memperoleh ketenangan dan ketentraman lahir batin.
4. Dhyana (memusatkan pikiran). Sangat
dianjurkan sekali apabila seseorang sewaktu-waktu dapat memusatkan pikirannya.
Ini bertujuan supaya manusia dapat mengendalikan pikirannya agar tidak
memikirkan yang aneh-aneh (negative thinking), tetapi terpusat hanya kepada
Tuhan semata. Dengan demikian, manusia akan dapat menyadari kebesaran Tuhan,
dan memperoleh kebahagiaan lahir batin.
5. Swadhyaya (belajar sendiri). Swa
artinya sendiri, dan adhyaya artinya guru atau berguru. Dengan demikian
swadhyaya berarti belajar sendiri, berusaha sendiri untuk mencapai suatu
kemajuan. Disini ditekankan agar seseorang tidak malas, mau berusaha sendiri
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tanpa harus menunggu orang lain
mengajarinya.
6. Upasthanigraha (mengendalikan hawa
nafsu). Kebiasaan menuruti nafsu dapat membawa manusia kepada akibat yang
buruk, dan dapat mencelakakan manusia itu sendiri. Hawa nafsu yang dimaksud
disini yaitu nafsu birahi (sexual). Dengan senantiasa menuruti nafsu sexual
akan membuat manusia terjerumus kelembah kemaksiatan, apalagi jika nafsu
tersebut diumbar diluar rumah akan menyebabkan timbulnya penyakit kotor,
seperti HIV, AIDS, dan lain-lain. Untuk itu agama mengajarkan agar mansuia
selalu berusaha mengendalikan hawa nafsunya. Dengan demikian akan terpelihara
lingkungan yang sehat, serta kehidupan yang baik.
7. Brata (melaksanakan pantangan).
Manusia dapat melaksanakan pengendalian diri dengan melakukan berbagai
pantangan. Pantangan yang dimaksud seperti pantangan makan, pantangan tidur,
pantangan berbicara, dan lain-lain. Dengan terbiasa melakukan pantangan akan
meningkatkan mutu pengendalian diri, dan dapat menambah ketenangan hidup.
8. Upawasa (puasa). Dengan berpuasa
seseorang akan lebih mudah mengendalikan dirinya, mengekang keinginan atau
menahan hawa nafsu agar memperoleh pikiran yang bersih, jernih dan suci.
Berpuasa yang dilakukan secara berkala juga dapat bermanfaat bagi kesehatan
tubuh manusia.
9. Mona (tidak berbicara). Pengendalian
diri dengan cara ini akan membuat seseorang mudah berkonsentrasi, memusatkan
pikiran hanya kepada Tuhan semata. Mona dilakuakan dengan cara tidak berbicara
sepatah katapun, atau diam diri.
10. Snana (membersihkan diri). Badan serta
pakaian juga tidak luput dari kebersihan, karena dengan badan bersih dan
pakaian bersih, maka pikiranpun akan menjadi jernih dan suci. Dengan demikian
jalan menuju Tuhan akan menjadi terbuka lebar.
VI. Dasa Dharma
Dasa Dharma ialah
sepuluh macam perbuatan baik yang patut dilaksanakan oleh umat Hindu. Dengan
melaksanakan ajaran dharma ini dapat mendorong terciptanya masyarakat yang
aman, tentram dan damai. Sepuluh dasa dharma tersebut ialah:
1. Dhriti (bekerja dengan
sungguh-sungguh). Seseorang yang ditugaskan untuk melakukan sesuatu pekerjaan
hendaknya menyelesaikan pekerjaannya dengan penuh rasa tanggung jawab,
mengerjakan dengan sebaik-baiknya, dan bersungguh-sungguh. Dengan demikian akan
tercapai hasil yang maksimal dan memuaskan baik bagi dirinya maupun orang lain.
2. Ksama (mudah memberikan maaf). Ksama
merupakan tindakan yang sangat terpuji bagi setiap manusia, karena setiap
manusia tak pernah luput dari khilaf. Setiap orang pasti pernah berbuat salah
dan oleh karena itu pada suatu saat ia pasti ingin dimaafkan pula oleh orang
lain. Memberikan maaf harus dengan tulus ikhlas.
3. Dama (dapat mengendalikan nafsu).
Manusia diharapkan agar selalu bisa mengendalikan nafsu atau keinginannya.
Janganlah menuruti nafsu dan keinginan karena akan dapat menyulitkan diri
sendiri maupun orang lain. Nafsu tersebut berupa nafsu sexual, amarah, dan
lain-lain.
4. Asteya (tidak mencuri). Orang yang
menginginkan barang orang lain atau mencuri adalah orang yang tidak bisa
mengendalikan, dan selalu terjebak oleh nafsu duniawi. Orang dengan sifat
seperti ini pada akhirnya akan menderita karena tidak pernah merasa puas dengan
apa yang telah dimiliki dan selalu ingin mengambil hak orang lain.
5. Sauca (berhati bersih dan suci).
Bersih dan suci bukan hanya badannya saja, tetapi juga pikiran dan hatinya.
Dengan hati dan pikiran yang bersih maka ketentraman dan kedamaian serta
ketenangan hidup akan mudah didapatkan.
6. Indrayanigraha (dapat mengendalikan
keinginan). Manusia diharapkan selalu bisa mengendalikan semua indra
keinginannya atau nafsunya. Dengan demikian manusia akan lebih mudah mencapai
ketenangan lahir maupun batin. Batin yang tenang dan tentram akan lebih mudah
mengantarkan seseorang pada jalan kebenaran.
7. Dhira (berani membela yang benar).
Manusia harus berani membela kebenaran dimuka bumi ini. Menjunjung tinggi
kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran tanpa pandang bulu dan tidak takut pada
siapapun.
8. Widya (belajar dan mengajar). Selain
belajar manusia juga dituntut untuk bisa mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
Dengan belajar dan mengajar akan lebih cepat tercipta masyarakat yang
berpendidikan dan berbudaya, masyarakat yang maju, dan tidak bodoh serta
dibodohi oleh masyarakat lain.
9. Satya (kebenaran, kesetiaan, dan
kejujuran). Manusia harus mempunyai sifat setia, jujur, dan selalu berkata
serta berbuat yang benar pula. Disamping itu juga harus berani bertanggung
jawab terhadap apa yang dikatakan, tidak berkhianat kepada teman, dan harus
menepati janji.
10. Akrodha (tidak cepat marah).
Berusahalah agar tidak marah dan cepat marah. Karena dengan kemarahan dapat
menyakitkan hati orang lain, dan dapat mencelakakan dirinya sendiri. Kemarahan
dapat menimbulkan kekecewaan terhadap orang lain, dan pada gilirannya orang
lain akan berbalik marah kepada kita. Dalam kesehatan pun diketahui bahwa
dengan cepat marah orang akan cepat tua.
VII. Catur Paramita
Catur paramita berasal
dari kata catur yang berarti empat dan paramita yang berarti perbuatan luhur.
Dengan demikian catur paramita berarti empat perbuatan luhur, yang harus
dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.
Catur paramita terdiri dari:
1. Maitri (bersahabat). Manusia harus
mempunyai sifat-sifat bersahabat terhadap sesamanya. Manusia adalah ciptaan
Tuhan, jadi manusia berasal dari sumber yang satu yaitu tuhan dan karena itu
manusia semuanya bersaudara. Dengan tercapainya persaudaraan maka akan tercipta
hidup tenang, tentram, dan damai.
2. Karuna (cinta kasih). Karuna merupakan
perbuatan luhur atau belas kasih terhadap orang yang kesusahan dan menderita.
Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan manusia harus saling tolong menolong rela
berkorban demi orang lain, negara dan bangsa. Cinta kasih juga harus
ditimbulkan terhadap binatang, tubuh-tumbuhan dan mahkluk tuhan yang lain.
Dengan cara tidak memburu dan merusaknya.
3. Mudhita (simpati). Simpati artinya
turut merasakan kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Dengan sifat mudhita
ini, manusia akan terhindar dari rasa iri hati, dengki, dan kebencian terhadap
sesamanya.
4. Upeksa (toleransi). Toleransi
merupakan perbuatan luhur dalam agama Hindu yang berarti manusia harus toleran
dan senantiasa memperhatikan keadaan orang lain. Sedangkan jiwanya dipenuhi
dengan rasa kesetia kawanan, simpati terhadap sesamanya, dan tidak menaruh rasa
dendam terhadap orang yang bermaksud jahat kepadanya.
VIII. Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata tri
yang berarti tiga, hita yang berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti
penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana dapat di artikan dengan tiga penyebab
kebahagiaan. Tiga penyebab kebahagian itu adalah:
Hubungan baik manusia dengan Tuhan. Manusia merupakan ciptaan tuhan,
sedangkan Atman yang ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci
kebesaran tuhan yang menyebabkan manusia
tetap hidup. Oleh karena itu manusia wajib berterima kasih, berbakti, dan
selalu sujud kepadanya.
Hubungan baik manusia dengan manusia. Manusia didunia ini tidak dapat
hidup sendiri, mereka membutuhkan bantuan dan kerja sama kepada orang lain.
sehingga dikatakan dengan mahkluk sosial. Karena itu hubungan antara sesama
manusia baik perorangan, keluarga, dan masyarakat harus selalu baik dan
harmonis. Masyarakat yang aman dan damai akan menciptakan negara yang tentram
dan sejahtera.
Hubungan baik manusia dengan lingkungannya. Sebagai mahkluk hidup,
manusia selalu dipengaruhi oleh lingkungan, baik dari perkembangan maupun
pertahanan diri manusia tersebut. dengan demikian lingkungan harus dijaga
dengan rapi dan sehat, tdak menebang pohon sembarangan (illegal logging), pencemaran
udara, pencemaran air dan lain-lain.
IX. Tat Twam Asi
Tat Twam Asi berasal
dari kata “Tat” yang berarti “Itu”, “Twam” berarti “Kamu”, dan “Asi” berarti
“adalah”. Jadi Tat Twam Asi dapat diartikan menjadi “Itu adalah Kamu”. Kata
“Itu” dapat pula diartikan sebagai “Dia” sehingga Tat Twam Asi dapat bermakna
“Dia adalah Kamu”. Secara bebas dapat pula diterjemahkan menjadi “Kamu adalah
Dia” jadi kamu adalah dia itu adalah sama saja. Ini berarti bahwa semua manusia
pada hakekatnya adalah sama. Jika dilihat dari segi Atman atau jiwanya, maka
Tat Twam Asi dapat diartikan sebagai “jiwa orang itu adalah jiwa kamu”. Jadi
Atman orang ini dan Atman orang itu adalah sama. Atman itu memang sama karena
bersumber dari percikan sinar suci Tuhan Yang Satu. Semua manusia sebenarnya
memang bersaudara.
Dalam filsafat Hindu
dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang
identik dengan prikemanusiaan dan Pancasila. Konsepsi sila prikemanusiaan dalam
Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran
Tat Twanm Asi yang terdapat dalam kitab seci Weda. Dengan demikian, dapat
dikatakan mengerti dan memahami serta mengamalkan/ melaksanakan Pancasila
berarti telah melaksanakan ajaran Weda. Karena maksud yang terkandung di dalam
ajaran Tat Twain Asi ini “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk
adalah sama”, sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri
kita sendiri.
Tat Twam Asi adalah
ajaran moral yang bernafaskan ajaran Agama Hindu Wujud nyata/rill dari ajaran
ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia
yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan
hidup yang dimotivasi oleh keinginan (kama) manusia yang bersangkutan. Sebutan manusia
sebagai makhluk hidup banyak jenis, sifat, dan ragamnya, seperti sebutan
manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, ekonomis, dan budaya. Semua
itu harus dapat di penuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa
memperhitungkan situasi dan kondisi serta keterbatasan yang dimilikinya. Di
sinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga
seberapa berar masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami dan
mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan
dalam hidup dan kehidupan ini. Kita tahu bahwa berat dan ringan. (Rwabhineda)
itu ada dan selalu berdampingan serta sulit dipisahkan keberadaannya.
X. Tri Mala
Dalam agama Hindu
mengenal tiga perbuatan kotor yang disebut Tri Mala. Tri mala itu bersumber
dari pikiran, perkataan dan perbuatan yang kotor seperti berpikir buruk
terhadap orang lain, berkata kasar dan kotor, memaki, memfitnah, memukul,
membunuh, mencuri.
Jadi segala perbuatan yang dipengaruhi
oleh pikiran, ucapan dan perbuatan kotor disebut Tri Mala.
Pembagian dan Contoh-contoh Perbuatan
Tri Mala.
Tri mala terdiri dari tiga yaitu:
a)
Moha artinya kejahatan dalam pikiran.
b)
Mada artinya kejahatan karena ucapan.
c)
Kasmala artinya kejahatan karena perbuatan.
Tri Mala ini patut kita
hindari karena jika tidak dihindari dapat menghancurkan hidup kita. Bagaimana
sesungguhnya wujud dari perilaku Tri Mala
Contoh-contoh tri mala.
a) Moha adalah bingung. Kebingungan
muncul karena pikiran yang tidak terkendali. Pikiran yang tergolong moha adalah
:
1)
Menginginkan sesuatu yang tidak halal, misal: mencuri, merampok,
merampas, menjambret.
2) Berpikir buruk terhadap orang lain,
misal : menganggap orang lain benci kepada kita, menganggap orang lain iri
kepada kita.
3) Mengingkari hukum karma pala yaitu
tidak percaya akan akibat perbuatan akan mendatangkan hasil.
b) Mada artinya congkak, kecongkakan
atau kesombongan muncul karena ucapan yang tidak terkendali. Misainya :
1) Mencaci maki, menghardik, berkata jahat dan
kotor kepada orang lain.
2) Suka memfitnah, suka menceritakan kejelekkan
orang lain.
3) Suka bohong, sering ingkar janji dan ucapan
yang membuat orang lain tidak senang.
c) Kasmala artinya kotor atau buruk.
Kasmala dalam Tri Mala artinya perbuatan kotor atau jahat, milsalnya:
1) Membunuh atau menyiksa makhluk lain
berdasarkan pikiran jahat disebut himsa karma.
2) Melakukan kecurangan terhadap harta benda,
menipu, korupsi, mencopet, merampok, melakukan perbuatan yang menimbulkan
keonaran di masyarakat.
3) Melakukan perbuatan jinah diluar pernikahan
misalnya: kumpul kebo, melakukan hubungan sex sebelum nikah, melakukan
pemerkosaan sampai merusak kehormatan orang lain.
2.5 Pengertian Susila
Susila berasal dari kata
“su” dan “sila”. Su adalah awalan yang berarti amat baik, atau sangat baik,
mulia, dan indah. Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau kelakuan.
Jadi Susila berarti
tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman
hidup manusia. Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai
individu manusia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong ia berbuat baik
dan bertindak. Berbuat yang baik (Susila) yang selaras dengan ajaran agama atau
dharma adalah cermin dari manusia yang Susila. Manusia Susila adalah manusia
yang memiliki budhi pekerti tinggi yang bisa diterima oleh lingkungan di mana
orang itu berada.
Demi tegaknya kebenaran
dan keadilan di dunia ini manusia yang ber-Susila atau bertingkah laku yang
baik sangat diharapkan. Manusia yang susila adalah penyelamat dunia (Tri Buana)
dengan segala isinya. Apapun yang dilakukan oleh orang Susila tentu akan
tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa akan selalu menyertainya. Orang-orang di
sekitarnya selalu hormat dan menghargainya. Kalau saja di dunia ini tidak ada
orang yang Susila maka sudah tentu dunia ini akan hancur dilanda oleh
ke-Dursilaan atau kejahatan. Sebab, Susila merupakan alat untuk menjaga Dharma.
Pengertian Susila
menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras
dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang
berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pada hakekatnya hanya
dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga
mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya
pikiran, perkataan, dan perbuatan.
2.6 Nilai Dari Etika
Istilah “etika” berasal
dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan,
sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: kebiasaan.
Dan arti yang terakhir ini menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
etika yang oleh filsuf Yunani besar aristoteles (384 -322SM) sudah di pakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi , jika kita membatasi diri pada asal
usul kata ini , maka etika berarti ilmu tentang apa yang bisa di lakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam kamus umum bahasa
Indonesia (departemen pendidikan dan kebudayaan , 1998) etika di jelaskan
dengan membedakan 3 arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.
2.
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3. nilai mengenai benar dan salah yang di anut
suatu golongan atau masyarakat
K. Berten (1993)
berpendapat bahwa “setelah mempelajari penjelasan kamus , kami memilih tetap
membedakan 3 arti mengenai kata etika ini. Tetapi mungkin urutannya terbalik ,
karna arti ke 3 dalam kamus besar bahasa Indonesia edisi 1998 lebih mendasar
daripada arti pertama , sehingga sebaiknya di tempatkan di depan. Perumusannya
juga bisa di pertajam lagi. Dengan demikian kita sampai pada arti ke 3 berikut
ini. Pertama , kata etika bisa di pakai dalam arti : nilai nilai dan norma
norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya orang berbicara tentang “etika suku suku
Indian” , “ etika Agama Hindu “ , etika protestan , maka tidak di maksudkan
ilmu , melainkan arti pertama tadi secara singkat , arti ini bisa di rumuskan
sebagai system nilai.
Kedua , etika berarti
juga kumpulan asas atau nilai moral , yang di maksud di sini adalah kode etik.
Beberapa tahun yang lalu oleh departemen RI di terbitkan sebuah kode etik rumah
sakit yang di beri judul “ etika rumah sakit Indonesia” (1986), di singkat
ERSI. Disini kata etika jelas berarti kode etik.
Ketiga ,etika mempunyai
arti lagi, ilmu tentang yang baik atau buruk. etika baru menjadi ilmu, bila
kemungkinan etis (asas asas dan nilai nilai tentang yang di anggap baik atau
buruk) yang begitu saja di terima dalam suatu masyarakat.
2.7 Dasar-Dasar Etika Hindu
Hindu seringkali
dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun
tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan
tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah
satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu
kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang
memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan
dan kepercayaan, dimana keyakinan tersebut merupakan kekuatan moral pemeluk
agama Hindu yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan
dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
a) Widdhi sraddha sebagai dasar etika Hindu.
Karena yakin bahwa Brahman (Tuhan) berada dimana-mana dan selalu ada serta maha
tahu, mengetahui semua yang tampak dan tak tampak, maka menjadi alasan atau
dasar yang mendorong orang untuk selalu menjaga perilakunya agar tidak
menyimpang dari ajaran-ajaran Tuhan (Agama) dimana dan kapan pun, baik ada yang
melihat maupun tidak. Walau hanya dalam angan atau pikiran saja semestinya tidak
dibiarkan menyimpang karena Tuhan mengetahui apapun yang ada dalam pikiran
manusia. Apalagi umat Hindu juga yakin bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang
susila dan berbudi pekerti yang luhur.
b) Karena yakin dengan Atma[2] adalah dewa yang
memberikan kekuatan hidup pada setiap mahkluk, maha saksi yang tidak dapat
ditipu, maka timbul etika tidak boleh bohong. “Sanghyang Atma sirata dewa ring
sarira, manoning ala ayu tan keneng in imur-imur.” Artinya, Sanghyang Atma
adalah dewa dalam tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik-buruk) tak dapat
dikelabuhi.
Karena yakin bahwa pada dasarnya Atma
semua makhluk adalah tunggal, tapi berbeda kondisinya karena karmanya dan
tubuhnya masing-masing maka Hindu meyakini konsep “Bhineka - Tunggal” artinya
berbdea-beda satu sama lain namun pada hakekatnya tunggal. Berdasarkan
kenyataan bahwa manusia keadaannya berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang
lebih muda, ada yang lebih tinggi statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang
ber-tata krama atau ber-etika; orang yang lebih rendah statusnya atau lebih
muda umurnya patut menghormati yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua
umurnya, orang lebih tinggi statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih
rendah dan yang lebih muda. Berdasarkan keyakinan bahwa, pada hakekatnya semua
Atma adalah tunggal, melahirkan filsafat “Tat Twam Asi” artinya dia adalah kamu
: melandasi serta mendorong etika untuk saling menghargai satu sama lain. Tat
Twam Asi juga landasan dasar salah satu ajaran Etika Hindu: “Arimbawa”
maksudnya punya pertimbangan kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin menolong,
dapat memaafkan, sehingga dalam memperlakukan atau menindak orang lain mengukur
pada diri sendiri. Sebelum bertindak tanya dulu kepada diri sendiri “Bagaimana
seandainya aku diperlakukan atau ditindak demikian?” Bila menimbulkan rasa tak
enak, menyakitkan, maka sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian: bila
menyenangkan atau membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.
c) Karena yakin dengan Hukum Karma Phala (buah
perbuatan) bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat, maka orang
menjaga sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara rahayu) termasuk
menjaga pikiran.
“Yadiastun riangen-angen maphala juga
ika” Artinya, walaupun baru hanya dalam pikiran akan membawa akibat itu. “Siapakari
tan temung ayu masadana sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa ala”
Artinya, siapa yang tak akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan
perbuatan baik? Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan
perbuatan buruk. Keyakinan pada KarmaPhala jelas menjadi dasar dan sekaligus
kontrol dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum
Karma Phala menumbuhkan Etika Hindu.
Konsep ini sama dengan hukum sebab
akibat (causal law). Selain bernilai etika moralis, juga mempunyai nilai
filosofis yang mendalam. Konsep ini juga merupakan penuntun bagi setiap orang
yang mempercayai hukum alam dan hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Bila
seseorang menanam jagung, pasti akan memetik buah jagung pada saatnya. Bila
seseorang berbuat baik, pasti ada saatnya yang tepat dia akan memetik hasil
perbuatannya tersebut. Oleh karena itu, dalam agama Hindu terdapat konsep Tri
Kaya Parisudha (tiga hal yang menyangkut kesucian / kebenaran), yakni:
‘berpikir yang suci dan benar, berkata yang suci dan benar, dan berperilaku
yang suci dan benar’.
Adanya Hukum Karma Phala menuntun
kebanyakan pemeluk agama Hindu untuk berbuat yang tidak merugikan orang lain
termasuk pemeluk agama lain karena ada rasa kurang berani menerima akibat yang
buruk bagi pelaku.
d) Berdasarkan keyakinan pada Punarbhawa/samsara
(reinkarnasi). Pemeluk agama Hindu sangat meyakini bahwa ada kehidupan setelah
kematian. Setelah beberapa lama di alam “sana”, mungkin di surga atau neraka,
atau sebentar di surga dan selebihnya di neraka, maka dia akan lahir sesuai
karmanya. Sisa perbuatan pada masa kehidupan yang lalu, akan dinikmati sebagian
pada kelahiran berikutnya yang dikenal dengan istilah wasana karma. Bila orang berperilaku buruk dalam hidupnya
akan lahir menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi manusia cacat
bahkan mungkin menjadi binatang tergantung derajat keburukan perilakunya,
sebaiknya bila dalam hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan baik, maka
kelak ia akan lahir pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti menjadi
manusia yang lebih rupawan, pintar, murah rezeki, memperoleh jalan hidup yang
lebih baik, lebih berwibawa, dsb, maka mesti menjaga tingkah lakunya agar dapat
menjelma dalam tingkat yang lebih tinggi derajatnya, lebih baik dalam segala
hal, minimal tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah atau lebih sengsara.
e) Yoga. Karena yakin dengan adanya sorga yaitu
alam tempat arwah yang sangat menyenangkan, alam tempat meinkmati suka cita
bagi arwah yang pada waktu hidupnya banyak berbuat baik. Apalagi yakin dengan
adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada surga yaitu menyatunya Atma dengan
Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari belenggu papa dengan
berbuat baik (Subhakarma) menikmati “Sat cit ananda” atau “Suka tan pawali
dukha”, artinya suka yang tak akan pernah kembali menemukan duka, dengan kata
lain mencapai kebahagiaan abadi. Seseorang akan dapa lepas dari lingkaran karma
dan samsara apabila sanggup membuat hidupnya betul-betul suci. Dan itulah yang disebut moksha.[4] Pada saat
itulah seseorang akan dapat menyatukan diri (siddha) dengan Brahma. Etika atau
sila semakin menjauhkan orang dari neraka dan menghantarkan untuk semakin dekat
dengan sorga dan moksa. Keyakinan ini mendorong orang untuk beretika, lebih
semangat untuk menegakkan sila dalam hidupnya.
Dalam usaha mencapai
moksa ini, kitab Bhagawat Gita telah menjelaskan bahwa jalan yang harus
ditempuh ialah dengan melaksanakan yoga.
Yoga dalam
pengertiannya yang sederhana adalah usaha mendisiplinkan diri, tata cara
meditasi, cara mengendalikan atau cara mengawasi. Dimaksudkan dengan
mengendalikan maupun mengawasi dan menguasai kegiatan ingatan dan kegiatan
indra serta melakukan tekanan terhadapnya.
Yoga terdiri atas dua
tingkatan. Tingkatan pertama bersifat perbuatan lahir. Dan tingkatan kedua
bersifat perbuatan batin. Kedua tingkatan itu adalah sebagai berikut:[5]
Kriya Yoga
1) Yama-yoga, menahan diri untuk membunuh,
berdusta, curang, khianat, dengki, iri, ria, tamak dan segala jenis perbuatan
yang dipandang dosa. Pelaksananya pada tingkatan ini merupakan anggota biasa di
dalam masyarakat.
2) Niyama-yoga, melatih dan membiasakan diri
melakukan segala perbuatan yang bersifat kebaikan dan kebajikan. Pelaksananya
pada tingkatan ini merupakan anggota biasa di dalam masyarakat.
3) Asana-yoga, memilih dan menentukan sikap tubuh
tertentu bagi meditasi. Pada tingkatan ini seseorang telah memilih tempat
tertentu bagi meditasi tersebut.
4) Pranayama-yoga, menahan nafas dalam sikap tubuh
tertentu pada saat meditasi. Sifatnya bertahap sampai kemudian mampu menahan
nafas dalam jangka waktu yang panjang.
5) Pracahara-yoga, meniadakan pengaruh indra atas
pengaruh apapun yang berada di sekitar diri sampai semuanya dipandang tidak ada
sama sekali.
Raja-yoga
1) Dharana-yoga, pemusatan pikiran atas satu titik
sassaran, yaitu Brahman, tanpa tergetar oleh apapun.
2) Dhyana-yoga, renungan rohani yang terus menerus
terhadap titik konsentrasi, yaitu Brahman, tanpa ada ingatan lainnya.
3) Samadhi, mencapai titik ekstasi hingga pada
saat itu bersatulah Atman dengan Brahman, yang di dalam agama Brahman/Hindu
dirumuskan dengan “Dia adalah Aku, Aku adalah Dia”.
Demikianlah tahap-tahap
yang harus dilewati di dalam yoga. Namun tidak semua orang bisa mencapai
tingkat raja-yoga, karena tahap-tahap di dalam kriya-yoga saja sudah demikian
berat untuk bisa diselesaikan dengan baik dan sempurna. Dikatakan bahwa hanya
orang-orang tertentu yang dapat mencapai tahapan raja-yoga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Agama Hindu mempunyai
bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini sebagai pedoman bagi umat Hindu
dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya sehari-hari. Dalam agama Hindu
etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik,
dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Tujuan
diperintahkannya untuk menjalankan antara lain: Untuk membina agar umat Hindu
dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan harmonis di dalam keluarga
maupun masyarakat. Untuk membina agar umat Hindu selalu bersikap dan bertingkah
laku yang baik, kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Untuk membina agar umat
Hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudi luhur. Untuk menghindarkan
adanya hukum rimba di masyarakat, dimana yang kuat selalu menindas yang lemah. Etika
agama Hindu pada dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia. Susila
berarti tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi
pedoman hidup manusia. Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran
politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam
agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha
Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta
menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang
ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam
bentuk. Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan, dimana keyakinan
tersebut merupakan kekuatan moral pemeluk agama Hindu yang disebut dengan
Pancasradha.
3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa
dapat berbuat baik setelah mempelajari mater ini. Demi kebaikan kedepannnya nanti,
semoga mahasiswa tidak sekedar membaca materi ini, tetapi mengamalkkan dan
memperbaiki tingkah laku yang sebelumnya kurang baik.
Kok panja ka
BalasHapus